Buku merupakan jendela dunia. Melalui buku, berbagai informasi bisa kita dapatkan. Sampai akhirnya era sudah banyak berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, cara kita mencari sesuatu berubah drastis. Jika dulu orang membaca buku untuk belajar atau hanya untuk mengisi waktu kosong, maka sekarang kebanyakan orang lebih suka dengan gaya baru, yaitu menonton. Menonton di era sekarang bisa dinikmati diberbagai aplikasi, seperti tik-tok, youtube, Instagram, atau aplikasi lainnya. Dengan menonton kita bisa mendapatkan informasi secara instan, tanpa membolak-balikkan halaman buku atau sumber bacaan lainnya. Lalu, yang menjadi permasalahannya apakah buku masih punya masa depan?
Kalau dipikir-pikir budaya nonton memang berkembang karena alasan yang masuk akal. Di era sekarang hampir semua orang memiliki smartphone, internet juga sudah mudah diakses. Jadi, menonton menjadi pilihan yang sangat simple, dan juga lebih cepat. Apalagi saat kita merasa lelah setelah seharian bekerja atau kuliah, rasanya menonton memang menjadi pilihan yang tepat dari pada harus membaca tulisan-tulisan. Visual, suara, dan editan yang menarik dapat dengan mudah diterima oleh penonton.
Selain tentang kemudahan, perubahan gaya hidup juga turut memengaruhi. Semua serba cepat, serba instan. Bahkan, beberapa orang merasa tidak punya waktu hanya untuk sekedar membaca koran, padahal sebenarnya bukan karena tidak memiliki waktu, tapi mungkin tak terbiasa menluangkan waktu untuk membaca. Menonton itu fleksibel, bisa sambil makan, sambil rebahan, dan juga sambil menunggu kelas berikutnya dimulai. Sedangkan membaca membutukan fokus yang tinggi agar apa yang kita baca bisa masuk kedalam pikiran dan membaca juga hanya bisa dilakukan disuasana tertentu seperti suasana tenang tanpa kebisingan. Inilah alasan yang membuat membaca terasa begitu berat untuk dilakukan.
Tetapi budaya nonton yang terlalu berlebihan juga memiliki dampak negatif, yaitu kita jadi terbiasa menerima informasi secara instan, sehingga kita mudah merasa bosan ketika harus membaca teks yang panjang dengan secara mendalam. Banyak orang yang lebih suka langsung ke intisarinya saja, daripada membahas secara keseluruhan. Padahal, kemampuan membaca suatu teks yang panjang, memahami secara mendalam, dan berpikir kritis itu sangat penting, apalagi untuk mahasiswa yang memang diharuskan membaca agar wawasannya luas.
Wawasan luas, mengerjakan tugas jadi lebih mudah. Ditengah perubahan ini, budaya baca memang sedang berada dimasa krisis. Di Indonesia saja minat bacanya sangat rendah, faktanya UNESCO menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Tidak semua orang memiliki kebiasaan membaca sejak dini. Selain karena orang tua tidak membiasakan membaca kepada anak, faktor anaknya yang memang malas juga bisa. Bahkan, ada juga yang merasa membaca adalah pekerjaan yang berat, lalu ada juga yang beralasan kesulitan mendapatkan buku berkualitas entah itu karena harga atau akses. Padahal, membaca tidak hanya dibuku saja.
Membaca bisa juga melalui koran, majalah, atau lain sebagainya. Ketika suatu aktivitas tidak dibiasakan sejak awal, maka lama-lama akan terasa asing dan sulit untuk dilakukan. Walaupun begitu, buku sebenarnya memiliki kekuatan yang tidak bisa ditandingi dengan video. Saat membaca, otak kita menjadi sangat aktif, kita bisa berimajinasi, mengartikan, dan memahami makna dari setiap barisnya. Proses ini membantu kita melatih kemampuan berpikir secara mendalam, menambah kosa kata, dan melatih konsentrasi.
Itulah mengapa membaca sering dianggap berat. Membaca juga bisa disebut sebagai Latihan mental. Mengapa begitu? Karena saat kita membaca, otak bekerja aktif walau sesederhana untuk mengenali huruf, mengingat makna, mengingat informasi, serta membayangkan apa yang dibaca. Proses ini melibatkan banyak bagian otak sekaligus, mulai dari bahasa, fokus, hingga ingatan, sehingga membuat pikiran terlatih layaknya tubuh yang berolahraga.
Selain itu, buku juga lebih bisa dipercaya. Walaupun kita mungkin lelah mencari disetiap halaman. Isi buku biasanya sebelum dicetak akan terlebih dahulu melewati proses yang panjang seperti penelitan untuk mencari kebenarannya, perbaikan, dan hingga tahap penerbitannya. Informasi dari buku tidak bisa disamakan dengan informasi dari media sosial. Kenapa? Karena media sosial terkadang hanya asal diunggah tanpa dicek ulang terlebih dahulu, ditengah gencarnya arus informasi dan hoaks, buku tetap menjadi salah satu sumber yang paling aman dan dapat dipercaya.
Walaupun tantangannya banyak, bukan berarti buku tidak bisa bertahan di era digital ini. Justru industry buku juga ikut berubah mengikuti perkembangan zaman. Ada e-book, perpustakaan digital, dan aplikasi untuk membaca yang bisa diakses lewat smartphone. Apalagi untuk mahasiswa zaman now, membaca lewat layar itu lebih praktis dan lebih murah. Bahkan, zaman sekarang sudah ada audiobook, yang memudahkan orang membaca buku hanya dengan mendengarkan suara yang berasal dari buku online itu.
Perubahan bentuk fisik ini membuktikan bahwa buku tidak hilang, yang hilang hanya bentuk lamanya saja. Isi dan manfaatnya tetap ada, namun cara menikmatinya yang berbeda. Tetapi, masa depan buku bukan hanya soal teknologi. Lingkungan juga punya peran besar. Di rumah kebiasaan membaca bisa dibentuk melalui memberikan contoh dan kebiasaan. Di kampus, dosen bisa mendorong mahasiswa membaca melalui tugas resensi, diskusi buku, atau referensi bacaan tambahan. Perpustakaan juga bisa menjadi tempat membaca yang nyaman jika dikelola dengan baik. Dengan dukungan ini, budaya membaca tetap hidup meski dunia terus berubah.
Jika Kembali ke pertanyaan awal, apakah buku masih punya masa depan? Jawabannya masih (iya). Budaya nonton memang lebih popular, tapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan budaya baca. Bahkan, hal kecil saja seperti membaca subtitle juga termasuk bagian dari membaca. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Menonton cocok untuk gambaran cepat, sedangan membaca cocok untuk pendalaman. Justru kalua keduanya dipakai secara seimbang, kita akan dapat manfaat lebih lengkap.
Saat ini, tantangan terbesar bukan memilih antara menonton atau membaca, tapi bagaimana kita bisa tetap melatih kemampuan membaca di tengah derasnya arus konten cepat. Membaca mungkin terasa lebih berat, tetapi manfaat jangka panjangnya sangat besar. Jadi, selama manusia masih menghargai pengetahuan, imajinasi, dan pemikiran mendalam, buku akan selalu punya tempat. Bentuknya mungkin berubah, tetapi keberadaannya tidak akan hilang begitu saja.


